Selamat datang anda telah memasuki web yang mungkin bisa membantu anda dalam beberapa permasalahan.Dan kami selalu menunggu masukan anda. selamat menikmati web ini Trimakasih

Selasa, 22 Juni 2010

ISTIHSAN

ISTIHSAN
BAB I
PENDAHULUAN
Keberadaan istihsan adalah salah satu sumber hukum yang di perselisihkan.
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syarak. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.


Imam Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Meskipun imam Hanafi tidak merumuskan sendiri pengertian istihsan sebagai dalil istimbat hukum, murid-muridnya menegaskan bahwa pengamalan istihsan adalah mengamalkan dalil syar’i , bukan berdasarkan hawa nafsu dan subjektifitas, sebagaimana ulama lain menuduh imim hanafi telah meninggalkan nas dan menyia-nyiakan dalil.
Dalam kitab al-Mabsut (yang meluas/melebar) karangan imam as –Sarakhsi, seorang ahli usul fikih dijelaskan bahwa istihsan pada prakteknya adalah meninggalkan kias dan melaksanakan kias yang lebih cocok bagi manusia untuk mencari kemudahan dalam penerapan hukum, karena pada dasarnya agama adalah mendatangkan kemudahan. Dalil yang digunakan adalah firman Allah SWT yang artinya “……..Allah menghendaki kemudahan bagimu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS 2 : 185) Dan sabda Nabi SAW yang artinya “ Sebaik-baik agamamu adalah yang mudah” (HR Imam Ahmad).


Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Selebihnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

BAB II
ISTIHSAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah usul fiqih ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi, atau merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz’i) dari ketentuan yang umum ( kulli). Qiyas berbeda dengan istihsan.pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, dimana peristiwa atau kejadian yang pertama belum ditetapkan hukumnya,karena ada nash yang dijadikan dasarnya.untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadiaan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan persamaan illat dengan peristiwa yang pertama.
Berdasarkan persamaan illat itu, ditetapkan hukum peristiwa yang pertama sama dengan peristiwa yang kedua.sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash , kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetepkan itu pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil itu dianggap kuat tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan kata lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat dari kedua peristiwa atau kejadiaan , sedangkan pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu peristiwa.
B. Dasar-dasar Istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis rosullah SAW antara lain :
a). dasarnya dalam Al Qur’an:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya*. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)
* maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia adalah yang paling baik.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama)dengan jihad yang sebenar-banarnya.dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak menjadikankesempitan bagimudalam agama”. (QS:Al-Hajj: 78)
ﻧﺲ ﺮﺿﻰ ﷲ ﻋﻪ ﻗﺎ : ﻗﺎ ﺭﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻠﺴﻟﻡ ﺨﺪﻳﻡ ﺃﻴﻴﺴﻮﺧﻩ ﺃﻠﻠﻌﺓ ﺃﻟﻔﻗﻪ
artinya: Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
C. Macam-macam Istihsan
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya, dan istihsan dipandang darisandaran dalilnya.
1.              Istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya dibagi menjadi:
a. Istihsandengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juz’i.contohnya: dalam hukum syara, seseorang tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan barang yang belum ada ketika dilangsungkan akad jual beli. Aturan ini berlaku untuksemua jenis transaksi jual beli,karena jual beli tanpa adanya barang ketika akad berlangsung maka akad tersebut menjadi rusak. Inilah yang disebut hukum kulli. Kemudian syariat memberikan keringanan dan pengecualian kepada pembelian barang dengan uang tunai tapi barangnya dikirim kemudian dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan(jual beli salam). Jual beli ini dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, juga jual beli ini untuk mempermudah bagi para penjual yang tidak mempunyai modal. Pengecualian ini dinamakan dengan pemindahan hukum kuli kepada hukum juz’i.
b. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi,karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.contohnya: Menurut madzhab Hanafi, sisa minum burung buas seperti elang dan gagak adalah suci dan halal diminum. Penghalalan ini ditetapkan berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minum binatang buas seprti anjing dan burung buas adalah haram, karena binatang itu langsung minum dengan lisannya, yang diqiyaskan dengan dagingnya. Menurut istihsan berbeda antara mulut binatang buas dengan burung buas tadi.kalau binatang buas langsung minum dengan mulutnya, sedangkan burung buas minum dengan paruhnya yang bukan merupakan najis. Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan antara binatang buas dan burung buas tadi,maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli kepada qiyas khafi
1.              Istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya, dibagi menjadi:
a. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat. Seperti jual beli salam yang telah dibahas di atas.
b. Istihsan yang disandarkan kepada ijma.contohnya: boleh mengambil upah dari orang yang masuk wc. Secara kaidah umum, tidak boleh mengambil upah tersebut, karena tidak bisa diketahui dan dipastikan seberapa banyak dan berapa lama ia menggunakan air dalam wc tersebut.tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan mengambil upah dari pengguna wc tersebut karena sudah membantu menghilangkan kesulitan tersebut, juga sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada penolakan dari seorangpun sehingga menjadi ijma
c. Istihsan yang disandarkan pada adat kebiasaan (“urf). Misalnya : pendapat sebagiaan ulama yang membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergarak seperti mobil dan barang lainnya. Menurut kaidah umum wakaf itu harus pada barang-barang yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Kemudian ulama membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak karena sudah menjadi kebiasaan (urf ) di lingkungan tersebut.
d. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat . misalnya: membersihkan sumur yang terkena najis hanya dengan mengambil sebagian air dari sumur itu. Menurut qiyas air sumur itu tidak dapat dibersihkan lagi, karena alat untuk membersihkan air itu sudah terkena najis dan tidak mungkin dibersihkan.tetapi menurut istihsan air itubersih lagi hanya dengan mengambil sebagian airnya saja, karena mengeluarkan sebagian itu tidak mempengaruhi kesucian sisanya. Inilah yang dinamakan darurat, yang bertujuan untuk memudahkan urusan manusia.
e. Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi, seperti bolehnya minum air sisa minum burung gagak.
D.Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.              Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat 18:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artiya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apayang paling baik diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.Az-Zumar: 18)

1.              dasar istihsan dalam hadis
ﺄﻩ ﺍﻠﻤﺴﻠﻤﻮﻦ ﺤﺴﻨﺎ ﻔﻬ ﻋﻨ ﺍﷲ ﺤﺴ
Artinya: sesuatu yang dipandang baik menurut umat islam maka baik pula dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad)
1.              Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas ada kalanya membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Untuk menghilangkan kesulitan itu maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya . Sedangkan istihsan yang dimaksud ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat.adapun dalil yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan , seperti surat az-zumar ayat 18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpandapat bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik.kemudian mengenai kutipan hadis di atas, mengisaratkan adanya ijma kaum muslimin.sedangkan ijma merupakan hujjah yang bersumber dari dalil.jadi hadis tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut Allah.inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum maslimin.
Jadi penolakan Syafiiyah tersebut bukan pada lafad istihsannya.karena Imam Syafi’i pun sering menggunakan kata istihsan,seperti pada kasus pemberian mut’ah kepada wanita yang ditalak. Imam Syafi’i berkata menganggap baik pemberian mut’ah itu sebanyak 30 dirham. Padahal di dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan nilai yang harus diberikan, tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau atas makna pemberiaan yang ma’ruf. Jadi cara seperti ini menurut ulama Hanafiah adalah merupakan cara pengambilan hukum dengan istihsan. Menurut Ulama Syafi’iah ini bukan merupakan istihsan, tetapi dengan membatasi sesuatu dengan melihat kondisi waktu itu (taksillul illah).

BAB III
PENUTUP
1.              Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan antara lain:
1.              Istihsan adalah pengambilan hukum denga cara perpindahan hukum dari qiyas jali kepada qiyas khafi,atau dari hukum kulli pindah kepada hukum juz’i
2.              Dalam pengambilan hukum secara istihsan tidak boleh menggunakan hawa nafsu melainkan dengan dalil atau sandaran yang kuat.
3.              Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiah dengan ulama syafi’iah mengenai istihsan.akan tetapi perbedaan itu pada penggunaan istilah saja.pada dasarnya mereka berpandangan sama, yaitu dalam suatu pengambilan hukum harus berdasarkan dalil atau sandaran yang kuat.

1.              Daftar Pustaka
1.              Abdul Karim Zaidan,Dr; Al-Wajis Fi Ushulil Fiqh, Muasasah risalah.2002
2.              Chaerul Umam,Drs;ushul Fiqh, Pustaka setia, Bandung. 2000
3.              Moh Rifa’i,Dr, Ahmad Mustofa Hadna, SQ, Drs, Fiqih wicaksana, Semarang. 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar